Ekonomi

AS-Arab Saudi Tegang, Prancis Cari Perkara 

Pasar keuangan dalam negeri kembali berduka pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,53% sementara nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

IHSG justru terjerembab kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia diperdagangkan menguat. Indeks Nikkei 225 naik 0,37%, Shanghai Composite menguat 0,33%, dan Strait Times bertambah 0,02%. 

Sementara rupiah terdepresiasi saat mayoritas mata uang Benua Kuning juga harus terjerumus ke zona merah. Hingga pukul 16.21 WIB, beberapa mata uang Asia tunduk di hadapan dolar AS, seperti yuan China (-0,02%), yen Jepang (-0,11%), ringgit Malaysia (-0,08%), dolar Singapura (-0,09%), dan baht Thailand (-0,12%). 

Sejatinya, perdagangan kemarin memang diselimuti sentimen negatif. Pelaku pasar dibuat takut oleh potensi ribut-ribut antara AS dengan sekutunya Arab Saudi terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.   

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan keras mengenai masalah ini. Erdogan menyebut bahwa pembunuhan Khashoggi merupakan sesuatu yang terencana.  

"Intelijen dan aparat keamanan memiliki bukti bahwa pembunuhan ini sudah direncanakan. Arab Saudi sudah mengakui bahwa Khasshogi tewas terbunuh, dan sekarang kita semua berharap pengungkapan terhadap semua yang terlibat dari atas sampai bawah dan mereka harus menerima ganjaran. Dari orang yang memerintahkan, melakukan, semua harus bertanggung jawab," jelas Erdogan dalam pidato di parlemen, mengutip Reuters. 

Presiden AS Donald Trump pun sepertinya semakin menunjukkan kekecewaan dan kemarahan kepada Arab Saudi. Setelah pidato Erdogan, Trump menyatakan bahwa Arab Saudi mencoba menutupi kasus Khasshogi dengan buruk.  

"Konsep awalnya sangat jelek, pelaksanaannya buruk, dan cara menutupinya juga salah satu yang paling payah sepanjang sejarah," tegas Trump kepada para jurnalis di Oval Office, dikutip dari Reuters. 

Tidak hanya dari Timur Tengah, Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk menolak rancangan anggaran negara Italia tahun fiskal 2019. Brussel menilai defisit anggaran yang mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu besar. 

Namun Italia sepertinya malah menjadi semakin keras. Teranyar, dalam sebuah wawancara radio RTL 102,5, Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini berkeras anggaran ekspansif, yang meningkatkan defisit tahun depan menjadi 2,4% dari PDB (dari target semula 1,8% PDB), adalah satu-satunya cara untuk menurunkan utang publik. 

Pemerintah Italia memang memiliki utang yang sangat besar, mencapai 131,2% PDB pada 2017, tetapi beranggapan cara untuk mengatasi masalah itu bukan dengan berhemat melainkan meningkatkan PDB. Oleh karena itu, pemerintah berencana memberikan bantuan kepada rakyat agar bisa meningkatkan konsumsi yang membuat dunia usaha bergeliat, ekonomi berputar, dan pada akhirnya PDB akan tumbuh lebih cepat sehingga rasionya terhadap utang pun mengecil.

"Warga Italia harus didahulukan. Italia tidak lagi ingin menjadi pelayan untuk aturan konyol," kata Salvini, yang memimpin Partai Liga yang memerintah bersama Gerakan Bintang Lima, dikutip dari Reuters. 

Perkembangan ini lagi-lagi menciptakan ketidakpastian di pasar. Sebab, investor tentu tidak mau Italia kembali terjebak dalam krisis fiskal seperti pada 2009-2010. Apa yang dilakukan pemerintah Italia saat ini membuat memori investor kembali ke masa-masa gelap itu. 

Segala ketidakpastian global akhirnya mendorong pelaku pasar menanggalkan aset-aset berisiko dan beralih memeluk dolar AS sebagai instrumen safe haven. Hal ini ditunjukkan oleh Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia, menguat sebesar 0,35% ke 96,298, hingga pukul 16:00 WIB kemarin. 

Beruntung, ada sedikit dorongan beli bagi bursa saham Benua Kuning yakni positifnya kinerja sektor manufaktur di Jepang. Pada pagi hari kemarin, Flash Manufacturing PMI periode Oktober diumumkan sebesar 53,1, mengalahkan konsensus yang sebesar 52,6. 

Sayang, IHSG benar-benar tak mampu memanfaatkan momentum tersebut, seiring masih kuatnya respons negatif terhadap keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dengan ditahannya suku bunga acuan, praktis tak ada sentimen dari dalam negeri yang bisa membawa rupiah menguat. Terlebih, tekanan bagi rupiah datang dari potensi membengkaknya defisit transaksi berjalan (current account) Indonesia.  

"Ekspor agak lemah, pertumbuhan akselerasi impor meningkat ini berpengaruh pada current account kuartal III. Ditambah harga minyak yang tinggi," kata Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara. 

Pelemahan rupiah membuat saham-saham perbankan banyak dilepas oleh pelaku pasar. Saham-saham perbankan yang berguguran adalah BBTN (-5,65%), BBRI (-2,32%),
BMRI (-1,56%), BBCA (-1,31%), dan BBNI (-1,05%). Saat saham sektor keuangan, utamanya perbankan, sudah dilepas maka IHSG tidak punya harapan.


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar